Sejak kecil, gue adalah contoh anak yg selalu di manja oleh orang tua, bahkan gue lebih dimanjakan lagi oleh seorang nenek, apapun yg gue minta, nenek gue selalu meladeni keinginan gue. Setiap nenek pergi ke luar kota, pulangnya dia selalu  membawa oleh-oleh buat gue, entah itu makanan atau bahkan mainan.

Ketika pulang dari sukabumi, nenek membawa satu barang yg katanya akan diberikan ke gue, sama halnya dengan anak-anak pada umunya, saat hendak diberi  hadiah maka mereka  akan senang, jingkrak-jingkrak depan pintu rumah, menyambut kedatangan  seseorang yg akan membuat dirinya senang. Namun ketika  nenek gue membuka tas miliknya, saat itu gue sadar, jingkrakan gue terlalu berlebihan, karena satu barang yg keluar dari tas nenek gue hanyalah satu boneka kucing usang yg ia bawa dari rumah saudaranya di sukabumi. Dengan mimik muka mengkerut dan bibir cemberut, gue menerima boneka tersebut, dengan terpaksa.

Yg ujung-ujungnya gue mainin boneka juga. #PernahMainBoneka #TetepCowokTulenKok

Boneka tersebut masih ada dan gue simpan sampai sekarang, tidak sempat gue foto karena ada di rumah gue di cianjur, sebuah boneka usang yg bersejarah.

Beliau adalah salah satu orang paling berharga yg pernah hadir menyempurnakan masa kecil gue,  memang bukan kepada gue saja beliau memperlakukan hal semacam itu, kepada anaknya pasti berlaku serupa, atau bahkan lebih. Gue ingat, dulu saat gue masih bocah dan belum banyak dosa seperti sekarang ini, gue selalu menulis surat bersama beliau untuk anak bungsu nenek (paman gue) di Malaysia, dibantu oleh beliau agar surat yg gue tulis benar ejaanya.

"Udah beres belum?" Tanya nenek kepada gue yg masih menulis dengan cara menutup tulisan gue dengan tangan di atas kertas.

"udah.."

Sebuah surat yg berisikan tulisan pendek, 'Mang, menta duit..'

"Hahaha.." Seketika nenek tertawa membaca surat pendek nan jelas itu.

Setelah gue memberikan surat tersebut ke nenek, waktu itu gue belum mengerti kenapa nenek gue tertawa, tapi sekarang mungkin gue sedikit mengerti, kalau saat kecil dulu gue sangatlah matre, beda sama sekarang.

Uhuk~

Gue pikir, kami berdua adalah orang terkompak dalam menulis surat, saling membantu atau lebih jelasnya gue cuma ngabisin isi tinta, ya! saat itu nenek gue masih suka menulis surat dengan menggunakan bulu angsa atau semacamnya yg dicelup ke tinta. Itu adalah momen terbaik dalam kehidupan gue; tinta dan sebuah pena berbentuk bulu, bersama nenek.
Beberapa tahun sudah berlalu, hampir setiap lebaran tiba nenek dan gue mendapat surat dari paman yg berada di Malaysia, terkadang ada beberapa surat atau kata-kata mutiara yg ketika dibuka berbunyi musik, ah! entahalah apa namanya itu.

Nenek gue hanyalah orang tua tipikal jaman dulu yg mengerti arti 'susah', berbekal dari cerita ibu, beliau adalah orang yg rela melakukan kerja berat hanya untuk sesuap nasi untuk anak-anaknya, bahkan saat gue lahir dan menginjak 3 tahun (kalo gak salah) itu gue sadar bahwa keluarga kami mungkin sudah lebih dari cukup, beliau terkadang masih kesana-kemari, kadang jualan gorengan atau semacamnya, beliau tidak betah jika hanya berdiam diri di rumah, mungkin dia tidak mau menjadi orang lain, atau hanya ingin menambah teman di usianya yg mulai menua, atau juga tidak mau menghilangan kebiasaanya, atau juga bisa disebut; beliau adalah sosok traveler sejati yg kesana-kemari, pergi ke luar kota dimana ia bisa menemukan saudara jauhnya. Meski terkadang saudaranya mengecewakanya hanya karena urusan uang.

Saat usia 4 atau 5 tahun (kalau tidak salah, lagi) gue pernah ikut nenek ke luar kota, yaitu sukabumi dan majalengka, pergi hanya sekedar mengunjungi saudara-saudaranya. Tidak seperti jaman sekarang yg serba instan, sekedar 'say-hai' bisa dilakukan melalui sebuah benda kecil dalam genggaman; handphone.

Ada banyak sekali kenangan yg gue ingat, dan ada banyak sekali kenangan yg mungkin hilang dari ingatan gue, memori-memori tentang beliau terlalu penuh sampai beberapanya hilang dari ingatan gue. Begitu mengesankan. Jika dipikir-pikir, benar juga seperti yg dikatakan Fiersa Besari, "Menjadi dewasa adalah jebakan. Menjadi anak kecil adalah sebuah kerinduan." Betapa masa kecil adalah hal yg paling menyengkan, belajar mengenal banyak hal.

Dalam perjalanan hidup gue, saat pertama kali merasakan patah hati adalah ketika orang yg setiap saat mengajarkan banyak hal itu tiba-tiba pergi gitu aja, pergi jauh untuk selama-lamanya dan  ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Sekitar tahun 2005-an (entah tahun berapa sampai lupa begini) beliau meninggal, pada saat hari tersebut datang, ibu gue paling histeris menangisi nenek, tapi gue sendiri gak bisa mengeluarkan air mata sama sekali, saat itu gue pulang sekolah sd, seolah-olah gak percaya, gue hanya diam melihat ibu yg masih tersedu-sedu air mata.

Saat itu gue pikir perasaan gue biasa saja, perasaan seorang anak sd yg meratapi kepergian seseorang yg selalu dekat dengannya. Beberapa hari setelahnya, gue menangis dalam diam, mencoba bersembunyi ketika air mata mulai turun, pergi ke rumah tetangga berpura bermain sekedar takut jika keluar air mata di depan ibu. Hanyalah tangisan seorang bocah.

Jika dipikir-pikir lagi, itu adalah patah hati terhebat gue, jika dibandingan dengan patah hati karena cinta kepada seorang yg dicintai setelah dewasa seperti sekarang, maka patah hati itu belum ada yg menandingi, dan gue harap jangan ada lagi patah hati seperti itu.

Yg gue takutkan adalah, jika kematian menjauhkan kia dari rasa cinta kepada orang yg telah tiada, di tahun-tahun pertama sering mendoakannya, tahun setelahnya hanya sekedar menyapannya, berikutnya hanya waktu lebaran tiba datang kepada sebuah batu nisan bertuliskan namanya.

Tapi, semua itu sudah terjadi, gue pikir semua orang sudah pasti akan pergi dari dunia ini. Rasa sesal, kesedihan, dan hal-hal yg membuat hidup tidak semangat hanyalah satu dari sekian sikap manusiawi. Maka, satu hal yg harus diterapkan setelah kepedihan adalah, penerimaan.

Kasih sayang; pertama-tama adalah soal kesetiaan. Kemudian kematian, keduanya tentang cara melepaskan, bukan melupakan. - Subuh, 04.39

***
sumber gambar:
http://labsky2012.blogspot.co.id/2012/09/tugas-5-perkembangan-pulpen_15.html