Aku
selalu merasa hidup di desa ini bukanlah pilihan terbaik. Begitulah pemikiran
Eka setelah pulang dari kota dengan membawa kebencian terhadap orang yg dicintainya.
“Bagaimana
Azizah, apakah kau masih mencintaiku?” tanya Eka pada Azizah.
Ada satu peristiwa yg sangat dibenci Eka di desa tempat tinggalnya. Pikirnya, mereka semua
seolah-olah pintar dalam menggurui setiap bujang seperti dirinya, “Kapan kau akan
menikah?” Selalu pertanyaan seperti itu datang menghantuinya, dari beberapa
orang-orang yg ditemui saat berpapasan di jalan. Tak habis pikir, kenapa orang-orang
itu sibuk sekali ikut campur hidup orang, padahal kalau dilihat-lihat, hidup
mereka setelah menikahpun masih terlihat susah, sampai-sampai untuk membeli
micin-pun harus ngutang ke warung yg sudah hampir habis bahan jualannya karena
terus merugi dimakan hutang-hutang tetangga.
Memang,
banyak sudah orang-orang yg dimakan pernikahan seperti yg para orang tua mereka
inginkan, dan setelahnya sampai ia tahu beberapa keluhan, “nyesel aku menikah!”,
begitulah teman-teman Eka yg menikah muda, mengeluh setiap kali bertemu dengannya
di suatu warung kopi. Sebenarnya Eka sudah bosan menjawab pertanyaan orang-orang
tentang kapan hari ia akan menikah, hanya saja ia bahkan belum memikirkan siapa
jodohnya selain saat itu ia hanya memikirkan seseorang yg sedang ia ajak bicara
dengannya, Aziziah. “Aku belum siap, dan aku tak ingin menyesal hanya karena
tuntutan pertanyaan orang-orang sekampung tentang statusku.” Jelas Eka pada
Azizah tepat sebelum ia pergi ke kota beberapa bulan lalu, ia masih
mengingatnya saat kembali duduk berdua di sebuah kursi kayu dekat tepi pantai, sore
hari. Seperti biasa, Azizah adalah seseorang yg bisa diandalakan soal urusan
curhat, dia pendengar yg baik. Akan tetapi biasanya, seorang pendengar ialah ia
yg selalu memiliki banyak rahasia.
“Apa
mereka pikir, kehidupan ini akan selesai dengan sebuah pernikahan?” Eka
bertanya pada Azizah. “Ah! Aku tahu kau tetap akan diam setiap kali aku
membicarakan ini.” Lanjutnya.
Seperti
biasa, Eka selalu sinis pada beberapa orang setelah ia pulang dari kota,
seolah-olah ia mendapat beberapa pengetahuan yg melebihi pengetahuan
orang-orang di kampungya, ia lebih pintar, hanya saja saat ia ditanya kapan
hendak menikah, ia memilih untuk tersenyum dan sedikit bercanda, karna baginya
sadar satu hal, mengajak debat satu orang kampung, hanya akan menimbulkan gosip
buruk buatnya kelak beberapa hari kemudian. Gosip sekampung.
“Kau
tahu Azizah..” Eka menatapnya dalam, “Perempuan sepertimu ini, kalau tak segera
pergi ke kota, bisa-bisa besoknya sudah menjadi istri orang?!”.
Pandangan
Eka tentang pernikahan selalu saja buruk, bahkan ia sering kali berpikiran untuk
tidak pulang kampung, lebih memilih mengurus pekerjaanya di luar kota. Ia pikir,
hidup di desa hanya seperti hidup di kandang ayam sayur, yg diurus lalu dijual,
dan ia tidak kebagian dagingnya karena sudah ada yg borong. Atau lebih-lebih
lagi, seperti anak gadis yg sibuk
belajar di sekolah, pulang-pulang mereka sudah harus dinikahkan dengan duda
anak dua, seperti si Marwan, Kepala Desa di kampunya yg sering gonta-ganti
istri.
“lalu,
bagaiamana dengan pernikahan besok?” tanya Azizah, “sampai kapan kau akan
menjadi orang paling egois, Eka!”
“...sudahlah,
jangan tanya itu, besok kita nyanyi dangdut saja di pesta nikah! Masing-masing nyumbang
satu lagu.” balas Eka sambil melingkarkan tangannya di pinggang Azizah, untuk
menghiburnya, juga untuk menghibur dirinya sendiri. Dan bagi Eka, dalam hatinya hanya ingin menarik kata-kata yg pernah ia ucap kepada Azizah beberapa bulan lalu, kepada orang-orang yg sering menanyainya, dan tentu juga kepada seorang pecundang yg tidak lain ialah dirinya sendiri.
Mereka berdua masih memandang senja yg semakin menghilang, menyadari betapa hidup
sangatlah singkat, dua orang yg sama-sama
pernah berpikir tentang hidup yg akan mereka jalani berdua setelah menikah. Bahagia,
duka bersama, mempunyai anak kembar lalu menyekolahkannya sampai sarjana. Begitulah pikiran-pikiran
setiap orang yg sama-sama menjalin cinta kasih. Selalu ada harapan untuk masa
depan yg masih samar-samar. Dua orang yg sama-sama berpikir tentang mencari
arti hidup, yg tanpa sadar sudah separuh mereka lewati.
“Azizah,
kau tidak pulang? Hari sudah larut...” tanya Eka sambil melepas sandaran Azizah
di pundaknya, “...nanti Marwan suamimu mencarimu?!”
____________________________________
-Sumber gambar: http://cariuntuktau.blogspot.co.id/2015/11/sepasang-kekasih-ditemukan-tewas.html
-Cerita ini terinspirasi setelah meembaca buku 'Cerita Buat Para Kekasih' karya Agus Noor
-Cerita ini terinspirasi setelah meembaca buku 'Cerita Buat Para Kekasih' karya Agus Noor
5 Comments
Endingnya nyesek dan tidak disangka-sangka. :(
BalasHapusDuh, ini curcol yang dibikin cerpen apa yah?
BalasHapusXixixixi...
Marwan, marwan, sudahlah hentikanlah pencarianmu. Apa kau tau uang yang kau pakai itu uang rakyat.
BalasHapusUntuk azizah, sabar mba meski marwan suamimu tukang grab dia tulus mencintaimu.
Eka, kamu tau kenapa nama kamu eka? Karna eka adalah satu, kamukah satu-satunya yang mampu melengkapi agamaku.
Oh.
Mas, kapan kawin?
BalasHapusWkwkwkwk
#SakitnyaTuhDisini
Apa ini memperoleh inspirasi dari sebuah tayangan televisi yang heboh akan sebutan pela*or? *Mungkin... XD
BalasHapusTapi yang main belakang malah si istri ye? Bukan lakiknya...
Posting Komentar
Terima kasih untuk waktunya, berikan komentarmu di sini.