“Bro, ikut gak naik gunung?” sekitar jam setengah tujuh malam, Hendra menghubungi saya lewat sebuah chat dari aplikasi Whatsapp, sebuah ajakan untuk naik gunung yang sebenarnya
juga sudah saya ketahui dari orang lain yang meminta saya untuk ikut naik gunung juga, tapi pada kenyataanya
orang yang pertama kali mengajak saya naik gunung inilah yang kemudian tidak
jadi ikut karna ada satu pekerjaan di Subang.
Chat tersebut saya diamkan cukup lama, kira-kira sampai lima menitan
lah, waktu yang cukup lama bukan untuk seorang pria membalas chat dari sesama
pria?
Lalu kemudian saya pun membalas chat tersebut dengan menggunakan voice note yang kira-kira pesannya seperti ini; “kapan? Lagi gapunya duit nih...” sengaja saya membalasnya dengan voice note agar supaya si Hendra tau kalau saya sedang bokek tapi ingin sekali naik gunung. “tanggal dua puluhan!” kemudian Hendra membalas balik.
Rasa ingin untuk mendaki lagi
bisa mengalahkan isi dompet saya yang kosong melompong dan hanya berisikan KTP
beserta fotokopinya dan STNK motor yang pajaknya sudah lewat sebulan dan belum sempat saya bayar. Akhirnya saya pun meyakinkan diri untuk ikut, ‘bisa lah nyari duit
minimal Rp. 300.000 sampe hari-H nanti!’ pikir saya dalam hati. Saya pikir uang
tiga ratus ribu cukup untuk ongkos kendaraan, patungan logistik dan untuk simaksi Gunung
Guntur yang setelah saya cari tau biayanya
tidak terlalu mahal.
Dua hari sebelum berangkat ke
Garut, di mana Gunung yang akan kami daki berada, kami berkumpul di rumah Anwar
untuk mendiskusikan bagaimana dan apa saja yang akan dibawa nanti. Dari Cianjur
ada Anwar, Hendra, Raka, Yogi, Intis, Asep Rahmat dan saya. Kemudian nanti di Garut
ada 3 orang kawan Anwar yang sudah beberapa kali mendaki Gunung Guntur (Budi, Ugeng dan Ason), jadi total
kami ada 10 orang. Tadinya hanya ada 2 orang dari Garut yang ikut dengan kami,
tapi Budi (bisa dibilang leader) menyarankan agar tidak berjumlah ganjil,
akhirnya dia mengajak salah satu temannya lagi untuk ikut, jadilah total kami
10 orang.
Karena kebanyakan dari kami
adalah pendaki pemula, jadi saya dan kawan-kawan lain yang memang masih merasa
asing dengan kehidupan di gunung, banyak bertanya kepada Hendra dan Anwar
tentang apa saja yang harus dibawa. Saya hanya membawa sleeping bag, sandal swallow, beberapa
pakaian ganti dan alat-alat seadanya, begitupun dengan si Yogi, karena nanti
harus ada supir pengganti agar bisa bergantian menyetir, jadilah dia dipaksa untuk ikut, dan akhirnya dia pun membawa alat seadanya juga, bahkan sepatu pun hampir
membawa sepatu berwarna pink. Sungguh hal serba mendadak yang tidak patut dicontoh memang...
Jujur saya sangat senang bisa
kembali mendaki gunung, sebelumnya memang pernah mendaki gunung Papandayan,
gunung yang memang sangat cocok untuk
pemula, sampai akhirnya ketika saya mendaki Gunung Guntur ini, saya baru sadar
kalau Papandayan memang benar-benar untuk pemula.
Rasa senang saya karena akan
mendaki mendadak terasa hilang begitu saja karena baru sadar kalau perjalanan
dari Cianjur menuju Garut harus ditempuh berjam-jam menggunakan kendaraan roda
empat. Ya, kami berangkat menggunakan mobil, yang awalnya saya pikir akan
pergi menggunakan mobil pribadi, tiba-tiba berubah menjadi mobil pengangkut
barang atau yang sering disebut mobil losbak/pickup. Tapi yang paling penting, ini
bukan soal mobilnya, karena memang lebih nyaman dengan mobil pickup (kata teman saya sih ini juga), tapi ini soal bagaimana nanti saya diperjalanan yang
kemungkinan akan bermuntah-muntah ria sepanjan perjalanan. Ya, saya lemah
memang.. puas anda ya...?
Senin, 21 September 2020. Sekitar
jam setengah empat pagi kami bersiap-siap berangkat dari Cidaun, Cianjur, menggunakan
mobil pickup yang sudah kami pasang terpal berwarna biru sebelumnya untuk jaga-jaga kalau hujan selama perjalanan. Saya tidak
bisa memikirkan apa-apa lagi selain bagaimana nanti saya diperjalanan, baru
mendekati mobil saja aromanya terasa begitu menyengat di hidung saya, rasa mual
mulai tersugesti di pikiran dan perutpun mulai bereaksi, sungguh menjengkelkan
dan sangat brengsek sekali mental diri ini! YA TUHAN TOLONG HAMBAMU YANG LEMAH
INI~
Terpantau lemah! |
Kamipun berangkat jam 4 pagi, sangat
disayangkan cuaca mendung dan gerimis mulai turun, entahlah ini pertanda kalau
kami tidak boleh pergi atau memang hanya sekadar cuaca saja. Tapi kalau
dipikir-pikir lagi, menjelang Oktober berarti memang sudah waktunya musim
hujan.
Di tengah perjalanan saat sudah
memasuki daerah garut, kami sempat dihadang salah satu orang. Saya, Hendra,
Raka, Intis dan Asep yang ada di belakang tiba-tiba kaget karna tanpa aba-aba mobil nge-rem
mendadak, saya pikir ada kecelakaan, tapi ternyata ada seseorang yang
menghentikan untuk meminta rokok. tidak terlihat seperti preman, melainkan
seorang wanita dengan pakaian compang-camping yang meminta rokok sambil
mengatakan, “iiiih kabogoh aing!!” artinya ‘iiih pacar aku!!’. Ya, sepertinya
dia orang dengan sedikit gangguan jiwa. Sebuah peristiwa yang membuat penumpang
kaget sekaligus menjadi hiburan karena supir kami punya pacar dadakan.
Saya melihat peristiwa tadi
sambil rebahan, rasanya saya sudah tidak bisa memikirkan apapun selain
memikirkan “KAPAN INI SAMPAINYA WOY?!!!” Ya! sudah muntah berapa kali ini saya
pak!!
Karena di perjalanan sangat
santai, kami pun sampai di rumah Budi
sekitar jam 12 siang, dan cuaca masih gerimis. Di sana kami saling berkenalan
karena sebagian dari kami memang belum saling mengenal. Kami beristirahat,
menyeduh kopi sambil menikmati sebatang rokok Djarum Coklat yang rasanya sangat
nikmat saat cuaca sedang hujan. Dan tidak berapa lama, Budi mengajak kami untuk
pindah rumah, karena ternyata rumah yang kami singgahi ini bukan rumahnya,
melainkan rumah kawannya yang kebetulan dia sedang main di sana. Sungguh sekali
ya anda ini bapak Budi, rumah orang lain dijadikan tempat menerima tamu anda
hei! Kalau anda baca ini, tolong titip salah buat yang punya rumah, sorry udah ngerepotin dan kopinya enak, mantap, dan yang penting... GRATIS!!
Setelah semuanya berkumpul, total 10 orang, kami
melanjutkan perjalanan menuju Basecamp Gunung Guntur via Citiis. Ternyata Basecamp
yang kami datangi memang via Citiis, tapi ini merupakan jalur yang cukup baru,
bisa dibilang jalur Citiis ini ada dua; 1. Via Citiis (melipir sisi bukit), 2. Via
seureuh Jawa Citiis (melalui jalanan yang biasa dilewati truk penambang), dan
kami melalui jalur Seureuh Jawa Citiis. Kalau diperhatikan, sepertinya saat itu hanya baru
kami saja yang memulai pendakian lewat jalur tersebut.
Basecamp Seureuh Jawa Citiis |
Pusing kepala dan rasa mual di
perut masih terasa di tubuh saya, kami beristirahat sejenak di Basecamp sambil
mengurus simaksi, sekaligus saya meminum kelapa muda yang sebelumnya sempat
kami petik dari belakang rumah Yogi, rasanya menyegarkan dan sedikit mengurangi pening kepala dan
rasa mual di perut. Jujur orang mabokan kayak saya ini memang ngerepotin, tapi
siapa yang suka mabok-mabokan begini juga, andai mabok kendaraan ada obatnya
(ya memang ada antimo tapi tetep saja mabok!) atau bisa gak sih orang mabokan
diruqiyah saja, apa bisa sembuh? Hmmmm.... "SAHA MANEH???"
***
Bismillah... |
Jam 4 sore, kami memulai pendakian,
cuaca sudah cerah, puncak Gunung Guntur terlihat cukup jelas meski sedikit
terhalang kabut. Di sepanjang perjalanan rasa mual saya sudah mulai hilang tergantikan oleh rasa segar udara
pegunungan dan kemudian mulai tergantikan oleh rasa lelah namun belum seberapa.
Menjelang magrib, berjalan
melalui jalur yang landai, kami akhirnya sampai di pos 1. Pos 1 adalah warung
dengan kursi-kursi bambu yang dibuat cukup unik dan nyaman, sambil beristirahat
menunggu magrib, kami menyempatkan diri untuk jajan dan ngobrol-ngobrol dengan
pemilik warung yang katanya sudah jualan sejak 2015; bercerita soal kenapa harus ada jalur baru untuk sampai ke pos 1, bercerita soal pendaki
yang sombong, bercerita tentang pendaki yang hilang sampai cerita horor yang
seharusnya tidak kami dengarkan saat itu karena kami bahkan belum setengahnya
mendaki dan takutnya membuat mental kami down.
(Pos 1) Ason & Budi sedang jajan bala-bala. Inget! jangan DARMAJI. |
Setelah salat magrib di mushola kecil yang tidak jauh dari warung, kamipun
melanjutkan pendakian, dan ternyata pos 2 tidak jauh lokanya dari pos 1, sekitar
beberapa meter sudah terlihat pos 2, namun saat kami hendak registrasi ulang,
di sana tidak ada orang satupun, gelap dan sunyi. Akhirnya kami pun melanjutkan
perjalanan di malam hari ditemani suara alam, suara air mengalir, dan cuaca
gerimis mulai turun lagi, ditambah beberapa dari kami tidak membawa jas hujan,
sungguh sebuah kebodohan. Tapi untungnya gerimis kembali reda. Kami terus
melanjutkan pendakian menuju pos 3, lokasi di mana kami akan mendirikan tenda
lalu beristirahat.
Kali ini, jalur yang kami lalui
tidak landai lagi, bebatuan-bebatuan besar dengan jalur yang menanjak sudah
siap menguji mental kami. Suara-suara speaker masjid yang menandakan bahwa
waktu salat isya terdengar jelas, “kalo suara-suara masih terdengar,
itu artinya kita masih di bawah!” kata Anwar membuka obrolan. Saat tangan harus
memilih batu-batu mana yang harus kami pegang selanjutnya, rasanya mengobrol
menjadi hal yang lebih baik nanti saja kami lakukan.
‘ini kapan sampainya sih?’ pikir
saya beberapa kali, rasa mual saat naik kendaraan mulai terasa kembali, tapi
ini beda, mual kali ini benar-benar mual karena lelah berjalan merayap di
bebatuan. Saat mulut diberi air, rasanya bukan dahaga yang hilang malah perut
yang seperti semakin dikoyak-koyak. Semuanya jadi serba salah.
Pemandangan malam kota Garut
sedikit mengobati rasa lelah yang kami rasakan, kami berhenti sejenak untuk
mengisi amunisi otot-otot kaki sekaligus mental kami; ‘ini belum seberapa!’.
Sekitar jam sembilan malam, kami sampai di pos 3, sekaligus melaporkan keberadaan rombongan kami. Lalu kami mendirikan tenda, memasak, menyeduh kopi dan sebagian dari kami memilih untuk tidur karena kelelahan. Sekaligus kembali mengisi tenaga dan kemudian agar besok paginya bisa melanjutkan summit ke puncak tertinggi Gunung Guntur...
Kiri ke kanan: Ugeng, Raka, Yogi, Hendra, Intis, Dian, Anwar, Asep, dan Budi. Dan satu lagi, Ason, btw dia gak ada karna motoin. Haha!
***
Sebuah dokumentasi (bagian 1): https://youtu.be/e0bcMDNFn_M
***
Ps: saya gak kapok naik gunungnya, tapi kapok naik mobilnya. Bagimu perjalanan menyenangkan, tapi bagiku menegangkan. Artinya; "BESOK-BESOK BAWA MOTOR AJA!!
16 Comments
Emangnya naik pikap bisa mual juga, ya? Dulu gue biasa ngompreng kayaknya asyik-asyik aja. Terakhir naik mobil ke Bandung 2019 juga aman, selama pengharum mobilnya enggak aneh-aneh. Ehe.
BalasHapusKenapa mitos tentang enggak boleh ganjil ini sering banget gue dengar atau baca, ya? Katanya kalau jumlahnya ganjil akan hilang seseorang. Hmm.
Naik motor kalau jaraknya masih terjangkau. Sekiranya dari Jakarta mau naik gunung di daerah Jawa Tengah ya kudu bawa kereta pastinya. Ehehe.
Kok bawa kereta sih, naik kereta. Ya Allah. Berasa yang punya KAI. Wqwq.
HapusIya Yog, setelah seklian lama saya baru naik mobil lagi.. gatau kenapa naik pikap masih mabok juga.. betapa lemahnya diri ini. :')
HapusMakanya, mau naik gunung ke luar jawa barat tuh rasanya berat sekakli karna takut mabok.
Kalau naik kereta, pernah dari Jakarta-Jogja gak mabok sih.
Sebenernya dulu aku mau ke Gunung Guntur E tapi ga jadi ke sini malah ke Papandayan.
BalasHapusKalo dulu aku dari Bekasi ke Papandayan naik mobil truk coba bayangkan wokwokwokwok.
Turun-turun muka langsung cemong gara-gara banyak debu jalanan pada masup.
Tapi dari situ jadi keingetan terus dan terkenang sampe sekarang fufufu.
Bekasi-Papandayan butuh berapa jam itu, gak kebayang sih harus naik truk.. eh kebayang deng, maboknya kalo saya. Haha
HapusYang jadi kenangan itu diperjalanannya sih ya.
ahhhh baca cerita ini jadi kangen naik gunung lagi sama temen-temen, apalagi setiap perjalanannya yang punya kenangan yang gak bakal terlupakan.. Aku terakhir mendaki itu Gunung Merbabu via selo, dan untuk yang pertama kalinya itu cukup sangat tinggi dan melelahkan. Tapi, pas udah sampe puncaknya terbayar sudah semua kelelahan selama perjalanan, lega deh hhi
BalasHapusDari Jawa kah bang Andrie ini?
HapusKalo iya, kalo kapan-kapan naik gunung-gunung di sana bolehlah kita menumpang mandi.
*Ke pantun
Halo salam kenal...
BalasHapusAstaga ini nostalgia banget sih.. dan masih berharap punya temen yg ngajakin ke gunung. Cuma sayang, mngkin hanya bisa berharap.. wkwk
Terakhir mendaki ke gunung pulosari di Banten.. hujan2, ketawa2, saling bantu yg awalnya cuek.. bikin hati berasa hangat..emnk betul yah, pepatah. Kalau pengen melihat sifat asli seseorang, bawa saja ia ke gunung...
Kenapa hanya bisa berharap? Kalo emang gak ada yang ngajakin, coba ganti di yang ngajakin.
HapusBener banget sih, sifat seseorang mudah ditebak kalo pas baik gunung; gimana baiknya, egoisnya atau hal-hal remeh temeh sekalipun. :D
wah menyenagkan bisa naik gunung kembali. Itu ke garutnya lewat kidul langsung ya? Kangen duh bisa naik gunung seperti ini.
BalasHapusDulu aku juga sama suka mabok kalo naik mobil, tapi entah kenapa sekarag malah tidak pernah mabok lagi. padahal gak pernah minum obat apapun juga. Mungkin hanya butuh keberanian aja kali ya hehe
Yaps! Betul, langsung lewat kidul De.
HapusIni juga dengan keberanian yang sudah matang, namun ternyata masih kalah juga sama mobil. Hahaha
masa orang kidul mabok ah haha
HapusSebagai sesama pendaki pemula yang baru naik gunung satu-dua kali dan setelah itu tidak pernah naik gunung lagi, SAYA JUGA PENGEN MUNCAK LAGI INI.
BalasHapusSaya belum pernah naik pick up buat rute jarak jauh sih, tapi setelah membaca tulisan ini kayaknya kemungkinan juga bakal mengalami hal yang sama. Apalagi sampai harus berjam-jam duduk di bawah terpal. Mabok juga pasti.
Mantap gan artikelnya, selamat blogging gan!
BalasHapusKalau sudah bertekad selalu ada jalan ya :) Duh, yang malakin itu mungkin odgj ya? :( Ditunggu lanjutannya :)
BalasHapusSeru banget naik gunung rame2 , semoga saya ada kesempatan juga bisa naik gunung 🙏🏻😊
BalasHapusJangan lupa mampir ke www.dewaagungwisnu.com ya 🙏🏻
Posting Komentar
Terima kasih untuk waktunya, berikan komentarmu di sini.